Sabtu, 02 Februari 2013

Proses pembuatan batik

I. Pewarnaan Batik
Pada zaman dahulu batik Jambi, diwarnai dengan menggunakan pewarna alam seperti kayu Ramelang untuk warna kecoklatan, kayu Lambato untuk warna kuning, kayu Sepang untuk warna kuning kemerahan dan Nilo untuk warna biru.

Dalam prakteknya penggunaan pewarnaan dengan pewarna alam, jarang digunakan oleh para pembatik, karena proses pengerjaannya cukup memakan waktu yakni kurang lebih 2 sampai 3 hari, sehingga untuk memenuhi permintaan konsumen dalam waktu dekat, tidak dapat terkejar. Bagi para perajin yang kurang telaten dan sabar umumnya beralih ke pewarnaan kimia, yang proses pewarnaannya lebih cepat, yang mengakibatkan lambat laun penggunaan pewarna alami, kian ditinggalkan oleh perajin batik Jambi yang pemula.

Dengan keluarnya larangan pewarnaan batik yang menggunakan beberapa golongan zat warna sintestis yang bergugus Azo, maka di Indonesia khususnya daerah Jambi mulai melakukan penggalian kembali penggunaan zat warna alam yang banyak tersedia, disamping pangsa pasar tekstil di negara Eropa juga menghendaki batik dengan menggunakan pewarna alam.

Dengan berubahnya keinginan pasar maka kepada perajin telah disarankan untuk menggunakan kembali pewarna alam yang berasal dari kayu-kayu, daun-daunan, akar-akaran yang berasal dari hutan yang ada di daerah Jambi dan sekitarnya. Salah seorang perajin Jambi yang mengembangkan proses pembatikan dengan penggunaan warna alam adalah Zainul Bahri (Batik Bahri), dan hal ini telah diikuti pula oleh beberapa perajin lain yang berada di Kota Jambi maupun Kabupaten lain di Provinsi Jambi.

Dalam prakteknya, pewarnaan Batik Jambi sebagian besar masih menggunakan pewarna kimia seperti Naftol, Indigosal, Procion, Rapit, Indantren selain pewarna alam yang berasal dari hutan daerah Jambi seperti, Kayu Sepang, Kayu Bulian, Kayu Lambato, Kayu Marelang, Daun Sirih, Daun Inai, Umbi Ubah dan lain-lain.
Adapun proses pewarnaan batik alam tersebut adalah :
1. Proses Mordanting
a. Untuk kain katun dan sejenisnya,
Resep :
  • Serat Kain (1pt = 2,5 m) = 500 g
  • Tawas = 100 g
  • Soda Abu = 30%
Cara :
  • Tawas + soda abu dilarutkan dalam 10 liter air, dipanaskan sampai mendidih.
  • Benang 1 kain dimasukkan sambil diaduk-aduk selama 1 jam, api dimatikan.
  • Diamkan semalam, kain dicuci dan dikeringkan.
b. Untuk kain wol/sutera dan sejenisnya,
Resep :
  • Serat kain = 500 gr
  • Tawas = 100 gr
Cara :
  • Tawas dilarutkan kedalam 10 liter air, dipanaskan tidak lebih dari 60°C
  • Benang 1 kain dimasukkan sambil diaduk-aduk selam 1 jam, api dimatikan.
  • Diamkan semalam, kemudian dicuci dan dikeringkan.

2. Cara Ekstraksi dan Pewarnaan
  1. Zat warna alam yang berasal dari kulit/kayu dicincang, ditimbang sesuai berat kain, untuk 1 pt (2,5 m = 500g) memerlukan ± 1 kg bahan zat warna alam.
  2. Cincangan kayu/kulit kayu tersebut dimasukkan kedalam 10 liter air, dipanaskan sampai mendidih, sampai air tinggal 4-5 liter, setelah dingin disaring/dipisahkan.
  3. Bahan yang akan diwarna (setelah dibasahi TRO) dimasukkan kedalam larutan No. 2, sambil dibolak-balik supaya rata dan didiamkan selama 15 menit.
  4. Kain diangkat, diangin-anginkan di tempat teduh, setelah kering pencelupan diulang seperti No. 3 sampai 3 kali.
  5. Terakhir dilakukan proses iring atau sarenan atau dikunci.
3. Proses Sarenan/Fiksasi
Ada 3 jenis bahan alternatif yang aman digunakan (dapat dipilih salah satu)

a. Fiksasi dengan Air Kapur
Timbang 50 gr kapur Tohor (Gamping Prongkal), larutkan kedalam 1 liter air untuk membuat 4 liter larutan memerlukan 200 g kapur Tohor. Diamkan, yang dipakai air beningnya. Kemudian bahan/kain direndam dalam larutan 1 liter beningannya tersebut selama 10 menit, dicuci bersih dan dikeringkan.

b. Fiksasi dengan Tawas
Timbang 70 g tawas, larutkan kedalam 1 liter air (280 g tawas untuk 4 liter larutan). Bahan direndam selam 10 menit, dicuci bersih dan dikeringkan.

c. Fiksasi dengan Tunjung
Timbang 50 g Tunjung, larutkan kedalam 1 liter air (200 g tunjung untuk 4 liter larutan). Bahan direndam selama 10 menit, dicuci bersih dan dikeringkan.
II. Cara Perawatan Batik
Proses pewarnaan batik secara alami/tradisional perlekatan warna hanya terjadi pada permukaan saja, tidak terjadi ikatan pewarnaan dengan molekul benang- benang mori, hal ini menyebabkan warna batik cepat pudar, dibandingkan dengan warna pada kain tenun, dimana benang-benang direbus dengan bahan pewarna sebelum proses tenun.
Untuk itu ada beberapa kiat (tips) yang perlu diperhatikan dalam proses perawatan batik, yakni :
  1. Batik tradisional/batik proses sintesis, jangan dijemur diterik matahari, melainkan diangin-anginkan saja, agar warna tidak cepat pudar.
  2. Batik jangan dicuci dengan sabun deterjen, karena sabun tersebut mengandung soda yang dapat merusak warna batik. Sebaiknya jika dimungkinkan dicuci dengan lerak (sabun khusus untuk batik atau dicuci dengan sabun batangan (sunlight/sabun mandi).
  3. Batik tradisional/alami jangan dihaluskan dengan setrika, sebaiknya di tekan - tekan dengan tangan atau dipres dengan benda berat.
  4. Batik yang baru dipakai sebaiknya diangin-anginkan dahulu baru disimpan. Hal ini mencegah terjadinya bercak-bercak hitam yang sulit untuk dihilangkan.
  5. Untuk menyimpan batik di almari supaya tidak dimakan rengat, sebaiknya diberi akar wewangian atau biji merica yang ditumbuk kasar.

motif batik jambi










Tabiat dan kearifan lokal masyarakat Melayu Jambi, tergambar dalam sejumlah karya seni, salah satunya dalam motif batik Jambi. Walau belum dilakukan analisa mendalam mengenai makna filosofis berbagai motif, tapi menurut budayawan Jambi Ja’far Rassuh, penggambaran motif itu merupakan representasi watak dan karakter masyarakat Melayu Jambi dengan tipikalnya yang sederhana, egaliter dan terbuka terhadap hal-hal lain di luarnya, walau cenderung lamban merespon perubahan.
Motif utama pada batik Jambi sangat sederhana, tidak rumit dan cenderung konvensional. Mencirikan watak asli masyarakat Melayu Jambi. Jika ada motif batik Jambi yang rumit dan detailnya kompleks, maka bisa jadi itu merupakan motif pengembangan baru yang muncul pada dekade 80-an.
Motif Durian Pecah menggambarkan dua bagian kulit durian yang terbelah, tapi masih bertaut pada pangkal tangkainya. Dua belah kulit itu memiliki makna pada masing-masing bagiannya. Belahan pertama bermakna pondasi iman dan taqwa. Bagian satunya lagi lebih bernuansa ilmu pengetahuan dan tehnologi. Makna yang disimpulkan oleh Asianto pada motif Durian Pecah itu ialah, pelaksanakan pekerjaan berlandaskan iman dan taqwa, serta ditopang oleh penguasaan ilmu pengetahuan dan tehnologi akan memberikan hasil yang baik bagi yang bersangkutan serta keluarga.
Bentuk motif Tampuk Manggis menggambarkan penampang buah manggis yang terbelah pada bagian tengahnya, menampakkan kulit luar, daging kulit, dan isi buah secara keseluruhan. Penggambaran ini berarti kebaikan budi pekerti, dan kehalusan hati seseorang tidak dapat dilihat dari kulit luar saja.
Menurut Asianto, motif Kapal Sanggat mengisyaratkan keharusan untuk berhati-hati dalam menjalankan sesuatu pekerjaan. Tidak boleh lalai dalam melaksanakan tugas, selalu waspada dan paham aturan. Karena kelalaian dalam pekerjaan akan menyebabkan musibah dan malapetaka bagi orang yang bersangkutan, sepert kapal nyanggat.

di pos dr: motifbatik.web.id/makna-motif-batik-jambi.html

Sejarah batik jambi


   

Dahulu, produksi dan perdagangan batik jambi secara terbatas terdapat pada masa kesultanan. Batik jambi merupakan hasil kerajinan yang tidak dapat dimiliki oleh sembarang orang, ia dikomsumsi hanya oleh masyarakat yang mempunyai tingkat kehidupan sosial tinggi, misalnya kerabat kerajaan atau kaum bangsawan. Dengan berakhirnya pemerintahan kesultanan jambi, produksi batik jambi menurun secara drastis. Kalaupun ada pengrajin batik, itu pun dikerjakan oleh beberapa pengrajin yang sudah tua.
Pada masa penjajahan belanda, berita tentang batik jambi marak kembali dengan munculnya berbagai artikel yang ditulis oleh para penulis belanda , salah satunya adalah B.M. Goslings. Dalam artikelnya, Goslings menyatakan bahwa atas persetujuan Prof. Vam Eerde dia meminta Residen Jambi H.E.K. Ezermann untuk meneliti batik Jambi. Sekitar oktober 1928 datang tanggapan dari Ezermann, bahwa di Dusun tengah pada waktu itu memang sesungguhnya ada pengrajin seni batik dan menghasilkan karya yang indah. (B.M. Goslings, 1928, 141)
Berdasarkan itu pula sudah terlihat bahwa semenjak jaman kesultanan jambi, jaman penjajahan belanda, jepang bahkan sampai perang kemerdekaan, terdapat kerajinan batik di daerah jambi akan tetapi belum berproduksi secara massal.
Sejak pembangunan Orde Baru, pembinaan dan pengembangan batik jambi telah dilakukan kembali secara insentif dan massal, jika pada era 1980an yang dominan adalah warna-warna jambi asli, pada era 90an yang digunakan adalah warna-warna pekalongan dan cirebon yang lebih cerah. Kini, batik Jambi kembali ke warna aslinya.
Batik tulis jambi memiliki ciri khas yang unik dan eksotis. Baik dari segi warna maupun motifnya. Sebagian besar pewarna batik jambi diambil dari bahan-bahan alami, yaitu campuran dari aneka ragam kayu dan tumbuh-tumbuhan yang ada di jambi, seperti getah kayu lambato dan buah kayu bulian, daun pandan, kayu tinggi dan kayu sepang. Selain itu, ada juga campuran dari dua jenis bahan yang tidak terdapat di jambi seperti biji pohon tinggi dan daun nila, yang biasanya didatangkan langsung dari Yogyakarta.
Selain bahan pewarnanya, batik tulis jambi kaya dengna aneka motif dengan warna cerah sebagai simbol keceriaan dan keriangan masyarakat jambi. Tercatat lebih dari 31 motif batik tulis jambi yang masih dapat dijumpai, seperti candi muara jambi,
kaca piring, puncung rebung, angso duo bersayap mahkota, bulan sabit, pauh ( mangga ), Antlas ( Tanaman ), Awan Berarak, dan Riang-Riang.